Salam lestari,
Pada Juni hingga pertengahan November 2023, wilayah Jabodetabek diterpa isu viral terkait pencemaran udara. Betapa tidak, hampir semua media mengangkat kasus pencemaran udara ini dan tidak lupa menampilkan keluhan masyarakat yang terdampak dengan berbagai sakit/penyakit terkait pencemaran udara, termasuk Presiden Jokowi selama sebulan terserang ISPA, Menkeu Sri Mulyani mengalamai radang tenggorokan nyaris tak dapat bersuara, pemicu sakitnya Menko MARVES Luhut B Panjaitan sehingga harus berobat ke Singapura, dan jutaan warga kota yang terserang ISPA, asma, pneumonia, bronchopneumonia, COPD, jantung coroner, kanker nasopharynx (paru), dll.
Pencemaran udara Jakarta dan sekitarnya ini bukan baru terjadi kali ini. Pada 1992, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) merilis laporan bahwa kualitas udara Kota Jakarta merupakan yang terburuk ketiga sedunia setelah Mexico City dan Bangkok. Laporan Bank Dunia dalam Urban Air Quality (1998) dan ADB dalam Vehicle Emission Reduction in the Greater Jakarta (2002) pun demikian; menyebutkan jika udara kota Jakarta dan sekitarnya tercemar. Data resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan kualitas udara di Jakarta pada dekade 2011-2020 dalam kategori tidak sehat dengan rata-rata tahunan parameter pencemar PM10 dan PM2,5 masing-masing pada kisaran 58-120 μg/m3 dan 18-49 μg/m3 . Kajian menunjukkan, jika tidak dilakukan pengendalian maka pada 2030 parameter dominan pencemaran udara (PM10, PM2.5, NOx, O3) akan meningkat hingga 2,5-4 kali lipat dibandingkan kondisi 2023.
Berbagai kajian menyebutkan bahwa sumber pencemaran udara Jabodetabek didominasi oleh kendaraan bermotor. Kiranya tepat, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko MARVES) yang ditunjuk Presiden sebagai Ketua SATGAS Pengendalian Pencemaran Udara JABODETABEK, mempersiapkan langkah pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor sebagai prioritas. Langkah pertama adalah penyediaan BBM ramah lingkungan yang sesuai dengan persyaratan teknologi kendaraan berstandard Euro4/IV yang sudah diadopsi oleh RI sejak 2018. Sayangnya, selama 7 tahun adopsi melalui regulasi PermenLHK No P20/2027 tersebut terkendala oleh ketersediaan BBM yang memenuhi persyaratan. Kini, setelah lebih 9 bulan dikoordinasikan oleh Menko MARVES, penyediaan BBM untuk kendaraan standard Euro4/IV ini kembali terancam gagal. Bisa jadi Pertamina lebih memilih memenuhi kehendak oil trader yang selama ini mengimpor BBM kotor.
Sebagaimana diketahui, bahwa setelah negara-negara Eropa, Amerika, Asia dan Afrika mengadopsi teknologi kendaraan berstandard Euro4/IV ke atas, termasuk Thailand (2014), Malaysia (2014), Vietnam (2017, India (2014), China (2008 kota-kota besar dan 2012 nasional) dll, maka pasokan BBM kotor sangat melimpah. Mengingat BBM kotor di atas dilarang digunakan di negara-negara tersebut karena sudah mengadopsi teknologi kendaraan canggih (Euro4/IV ke atas) sebagai upaya pengendalian pencemaran udara dari emisi kendaraan. Indonesia sekalipun telah melarang penggunaan BBM kotor sehubungan ditetapkannya regulasi emisi
kendaraan di atas, namun tidak berdaya menghadapi banjir impor BBM kotor tersebut. Ketidak-berdayaan ini terkait invisible hand, kekuatan politik yang menjadi bagian dari oil trader pada proses impor BBM kotor. Kegalauan pemerintah untuk menerapkan scenario yang seharusnya sudah diberlakukan mulai 17 Agustus 2024 sebagai hadiah HUT Proklamasi RI ke-79, adalah sinyal kekuatan invisible hand tersebut yang sangat erat kaitannya dengan dinamika politik nasional, termasuk hiruk pikuk penetrasi koalisi politik pasca PILPRES 2024. Pasokan BBM Euro4/IV Standard adalah prasyarat pengendalian emisi Kendaraan pencemaran udara yang masih menjadi ancaman bagi banyak kota seperti Jakarta dan sekitarnya dengan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat, terutama anak-anak; menyedot biaya medis, pemicu morbiditas dan mengancam bonus demografi. Di Jabodetabek misalnya, rata-rata tahunan konsentrasi PM2.5 berada pada level 38 hingga 46,1 μg/m3 (2017-2023) yang mencerminkan kategori kualitas udara tidak sehat. Dampak emisi dari berbagai sumber terutama kendaraan bermotor, industry, domestic, open waste burning, proses konstruksi gedung, jalan dll, power plant dan road dust berimplikasi pada tingginya pencemaran udara yang menyebabkan sakit/penyakit yang diderita oleh masyarakat sehingga menyebakan kerugian biaya medis. Warga DKI Jakarta misalnya biaya medis terkait pernafasan mencapai Rp 51,2T (UNEP, 2016). Berbagai studi menunjukkan bahwa kendaraan bermotor merupakan sumber emisi pencemaran udara terbesar di antara berbagai sumber emisi di kawasan perkotaan.
Beban emisi PM10 di Jabodetabek mencapai 14,88 juta ton/per tahun (KPBB, 2019) yang disumbang oleh sumber-sumber transportasi 47%, industry 20,24%, power plant 1,76%, rumah tangga 11%, road dust 11%, pembakaran sampah 5%, dan konstruksi bangunan 4%. Sementara beban emisi PM2.5 mencapai 10,71 juta ton/tahun yang disumbangkan oleh sumber-sumber dari transportasi 57%, industry 21,16%, power plant 2%, rumah tangga 7%, road dust 5%, pembakaran sampah 5%, dan konstruksi bangunan 3%. Angka beban emisi ini akan naik terus sebagaimana disinggung di atas.
Selain itu, sumber utama emisi pencemaran udara dari kendaraan bermotor dengan basis old ICE technology dan utilisasi BBM fossil ini telah membebani monetary system yang berdampak pada defisit neraca perdagangan selama bertahun tahun. Pasokan BBM nasional yang tidak mencukupi untuk kebutuhan BBM kendaraan bermotor mengharuskan kita import bensin hingga 17,09 juta KL/tahun dan solar 5,59 juta KL (2023).
Selain itu, produksi otomotif nasional yang berorientasi old technology menjadikan industry otomotif nasional tidak competitive di pasar global. Old technology, yaitu teknologi kendaraan di bawah Euro4/IV standard sudah tidak diminati secara global terkait kepentingan pengendalian emisi maupun kepentingan pertarungan dalam international trading yang menggunakan issue emisi sebagai trade barrier. Tentu saja penerapan PermenLHK No P20/2017 sangat strategis, baik dalam pengendalian emisi pencemaran udara, maupun dalam menciptakan persemaian (trigger) demi memenangkan pertempuran auto industry nasional di pasar global.
Untuk itu, adalah mutlak menyediakan pasokan BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan sesuai standard emisi pada regulasi tersebut di atas. Dan kita berharap dan mendukung Pemerintah untuk konsisten
memasok BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan berstandard Euro4/IV sebagai prasyarat pengendalian emisi pencemaran udara. Ini dalih kuat untuk pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi, sehingga distribusi BBM bersih yang memerlukan incremental cost (tambahan biaya) ini mampu menciptakan ruang fiscal
keuangan negara selain tidak berdampak pada system moneter, ekonomi, social dan politik.
Salam hormat,
Ahmad Safrudin-KPBB/Air Quality Partnership, 0816897959 (phone/WA).